Bisnis Online Terhemat

 

pasang iklan

Selasa, 04 Oktober 2011

Makalah : Ilmu Moral

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa teologi Mu’tazilah, kemampuan tersebut diimplikasikan dalam bentuk kehendak bebas yang dimiliki manusia. Kehendak bebas inilah yang membawa manusia pada posisi sebagai makhluk yang dapat bebas berekspresi dan berinovasi membangun satu hayalan menjadi satu hal yang nyata. Di sinilah letak kekuatan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya.

Keinginan yang begitu banyak memungkinkan manusia untuk mengaktifkan kehendak bebas. Pada tataran awal, kehendak bebas itu menempatkan dirinya pada posisi pelepasan terhadap nilai-nilai, baik itu dalam bentuk nilai moral ataupun nilai etika. Manusia pada tahap ini dapat berbuat dengan seenaknya sendiri, tanpa ada landasan moral. Pada akhirnya, dengan landasan berbuat seperti itu, terciptalah satu struktur masyarakat yang bebas moral. Di sini manusia dapat membuat nuklir untuk berperang, saling membunuh dan menumpahkan darah. Dan lain sebagainya dari berbagai aspek negatif yang ditimbulkan oleh kehendak bebas itu. Dan terkadang kehendak bebas seperti yang mereka anggap itu adalah sebuah kebenaran.
Dalam filsafat, kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianngap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filsafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang-ada mengungkapkan diri kepada akalbudi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya

Menurut teori kebenaran metafisis/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu (misal: kesesuaian antara pernyataan dengan fakta (Deutsch, 179:96-102). Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada. Sesuatu mesti diketahui dahulu baru dinyatakan. Lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu Pengetahuan
Perkembangan peradaban umat manusia secara historis tidak pernah dapat dilepaskan dari peran dan keberadaan ilmu. Dinamika kehidupan manusia amat dipengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan dengan segala aktivitas keilmuan yang menghasilkan produkproduk yang menopang kemajuan umat manusia. Bahwa ilmu pengetahuan tidak akan berkembang tanpa kegiatan keilmuan yang memang bertujuan menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan ibarat ’’pisau” amat ditentukan siapa dan bagaimana ia memanfaatkan ilmu tersebut. Namun agar tetap terjaga ketajaman pisau tersebut dibutuhkan kegiatan keilmuan. Oleh karenanya ilmu yang secara epistimologi lebih mengedepankan aspek fakta empiris membutuhkan dukungan kegiatan keilmuan untuk mengembangkan keberadaan ilmu sendiri.
Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris (JS Suriasumantri,2003:5). Kegiatan keilmuan dilakukan sebagai upaya menumbuhkembangkan ilmu yang akan diabdikan bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia. Dalam hal ini ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.
Operasionalisasi dari metode keilmuan ini tidak lain ke dalam kegiatan keilmuan. Kegiatan keilmuan yang bisa dikategorikan ke dalam dimensi epistimologi agar menghasilkan karya yang memberikan manfaat dan meminimalisasi kemadhorotan bagi umat manusia maka diperlukan aksentuasi pada dimensi ontologisnya. Yakni dimensi yang menekankan pada aspek moral di dalam kegiatan keilmuan tersebut.

B. Moral dan Dimensinya
Moral berasal dari bahasa Latin kata mores, kemudian diterjemahkan menjadi "aturan kesusilaan". Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun, dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakukan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral. Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.
Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor penentu moralitas perbuatan manusia yaitu : Motivasi, Tujuan akhir, Lingkungan perbuatan Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk, benar atau salah. Moralitas instrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakekatnya, terlepas dari pengaruh hukum positif. Artinya penentuan benar atau salah perbuatan tidak tergantung pada perintah atau larangan hukum positif. Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan dalam hukum positif.
Dalam perkembangannya muncul etika tentang moral sebagai bagian filsafat yang konsern mendiskursuskan aspek baik-buruk, manfaat-kerugian maupun kepentingan dari keberadaan ilmu. Dengan demikian kegiatan keilmuan yang dipandu etika moral akan tetap berjalan dalam koridor filosofi ilmu itu sendiri. Dimensi moral bisa diibaratkan ruh yang akan meniupkan nilai-nilai moral dalam kegiatan keilmuan sehingga mampu memandu operasionalisasi kegiatan tersebut.
Terjaganya kegiatan keilmuan oleh aspek moralitas diharapkan menghasilkan produk ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan bagi kepentingan peradaban umat manusia. Oleh karenanya, persoalan yang terus jadi diskursus kalangan akademisi adalah bagaimanakah wujud dimensi moral serta implementasinya dalam kegiatan keilmuan yang dilakukan?

C. Perspektif Moral Dalam Keilmuan
Perspektif tentang dimensi moralitas dalam kegiatan keilmuan sebenarnya merupakan aksentuasi dari keberadaan komponen aksiologi dalam falsafah keilmuan. Bahwa ilmu pengetahuan sejak lahir telah dituntut menyertakan aspek nilai dan kepentingan di dalamnya. Kegiatan keilmuan sebagai upaya menumbuhkembangkan ilmu dalam koridor filsafat tetap membutuhkan nilai dan sikap di dalam setiap proses kegaiatan keilmuan. Menurut Sudarminta SJ (1992:11) bahwa realitas menunjukkan sering terbentuk ’’jurang keterasingan” yang membelah eksistensi ilmu pengetahuan dengan etika/moral sebagai ’’nilai” yang senantiasa inheren di dalamnya telah membawa akibat-akibat yang merugikan kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
Produk kegiatan keilmuan sering menghasilkan ’’petaka” bagi aspek kemanusiaan. Sikap skeptis bahkan melecehkan dari para ilmuwan terhadap pertimbangan-pertimbangan etis, serta ketidakpedulian kita terhadap permasalahan yang dimunculkan ilmu pengetahuan semakin memperbesar jurang keterasingan tersebut.
Sementara kehidupan umum masyarakat yang semakin dikuasai budaya ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan rasionalitas ilmiah-teknologisnya yang bebas nilai semakin lepas dari kendali dan pertimbangan etika/ moral.
Gejala tersebut telah dimulai sejak berlangsung kegiatan keilmuan. Oleh karenanya diperlukan kontinyuitas untuk membangun ’’dialog” antara etika/moral dengan ilmu pengetahuan sejak berlangsung kegiatan keilmuan. Tujuan dari dialog adalah untuk menjalin komunikasi dan kerjasama yang saling menunjang antara moral dengan ilmu pengetahuan.
Ketika para ilmuwan tidak lagi memperhatikan substansi etika/moral dalam kegiatan keilmuan dan hanya sekadar mengejar produk kegiatan, bisa dipastikan hanya menghasilkan kegiatan keilmuan yang berlangsung di atas ketidakjujuran pada diri sendiri, serta mendahulukan aspek pragmatisme yang diukur dari kuantitas produk tanpa mempedulikan aspek kualitas proses kegiatan keilmuan yang seharusnya dipandu etika/moral di dalamnya.
Dimensi moral akan melahirkan kesadaran etis bahwa setiap kegiatan keilmuan harus bisa dipertanggungjawabkan serta berada dalam koridor kepentingan kesejahteraan masyarakat.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebenaran ilmiah melalui ilmu pengetahuan pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena berragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.
Dalam perkembangannya muncul etika moral sebagai bagian filsafat yang konsern mendiskursuskan aspek baik-buruk, manfaat-kerugian maupun kepentingan dari keberadaan ilmu. Dengan demikian kegiatan keilmuan yang dipandu etika moral akan tetap berjalan dalam koridor filosofi ilmu itu sendiri. Dimensi moral bisa diibaratkan ruh yang akan meniupkan nilai-nilai moral dalam kegiatan keilmuan sehingga mampu memandu operasionalisasi kegiatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Achmad, (2003). Sunnatullah dalam Jiwa Manusia, Jakarta: IIIT Indonesia.

Moedjiono, Imam. (2002). Kepemimpinan dan Keorganisasian, Yogyakarta: UII Press.

Abbas, H.M., 1997, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta.

Http://kotasantri.com
Http://www.wawasandigital.com
Http://wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar